Perkembangan teknologi senantiasa membawa perubahan yang umumnya berupa kemajuan. Namun selalu ada sisi lain di samping kemajuan, yang berupa kerugian. Maka, di era digital dewasa ini yang memberikan berbagai kemudahan, terdapat juga hal-hal yang berdampak samping kurang baik terhadap berbagai hal, di antaranya terhadap Hak Cipta.

Buku, sebagai sumber ilmu yang dulu hanya bisa didapatkan dengan kunjungan ke toko buku, kini bisa kita beli hanya bermodalkan gadget, tanpa kita perlu bergerak.

Online marketplace telah memudahkan transaksi jual beli sehingga pembeli dapat lebih mudah dipertemukan dengan penjual, dan produk-produk pun lebih mudah dicari.

Masalahnya, bukan hanya buku legal yang dijual di sana. Banyaknya jumlah judul buku ilegal atau bajakan yang dijual di online marketplace telah menjadi fenomena yang memprihatinkan.

Penjual dengan bebas dapat menulis bahwa buku yang mereka sediakan adalah buku KW, atau fotokopian, atau non original.

Maka, berbeda dengan jaman dulu ketika buku bajakan hanya disediakan di toko fisik oleh penjual tertentu, kini praktis siapa pun bisa menjadi penjual buku bajakan, cukup bermodalkan lapak online.

Di online marketplace (kecuali di online marketplace seperti JD.ID yang mensyaratkan orisinalitas barang yang dijual) tidak ada penyaringan atau keharusan bagi penjual untuk menjual barang yang legal.

Hal ini sesungguhnya sangat merusak dunia perbukuan. Dampaknya, penulis menjadi enggan menulis buku. Selain itu, penerbit dan toko buku, sebagai pemangku kepentingan buku, juga mengalami kerugian. Akibatnya, ke depannya akan semakin sulit budaya menulis berkembang.

Hubungan antara tingkat pendidikan dengan kemampuan menghargai hak cipta pun tidak ada. Justru, buku yang paling banyak dibajak adalah buku perguruan tinggi, akibat tingginya kebutuhan (permintaan) mahasiswa akan buku ajar.

Salah satu alasan terbesar dalam pembelian buku bajakan, adalah harganya yang lebih murah, konon sampai antara 1/5 sampai 1/10 harga buku aslinya. Jadi beginilah cara melacak apakah sebuah buku (yang baru, bukan bekas) merupakan produk ilegal/bajakan atau bukan. Kita tinggal membandingkan harga katalog buku aslinya dengan harga rendah yang kita dapatkan di beberapa penjual online.

Sebenarnya, secara fisik buku bajakan itu lebih buruk kualitas fisiknya, dalam artian cetakannya kabur sehingga sulit dibaca, formatnya diperkecil, kertasnya berkualitas rendah, penjilidannya lemah, dan warnanya dihilangkan, namun demikian, pada umumnya mahasiswa masih tetap meminatinya.

Alasannya kebanyakan menyebutkan bahwa “buku aslinya mahal”, meski di saat yang sama mahasiswa tersebut mampu untuk membeli pulsa atau makan minum di tempat yang tidak murah juga.

Ada anggapan bahwa hak untuk akses terhadap pendidikan membuat buku ajar perguruan tinggi bebas difotokopi/diperbanyak tanpa batas. Ini tidak benar.

Mengapa demikian, karena ada juga hak moral dan terutama hak ekonomi penulis, juga hak ekonomi para pelaku perbukuan yang mestinya dipertimbangkan. Selain penulis, penerbitan buku adalah industri yang di dalamnya banyak orang terlibat. Yang mungkin tidak disadari para pembeli buku bajakan adalah bahwa ketika mereka membeli buku bajakan, mereka merampas hak dari pihak-pihak ini.

Sebenarnya, pada jangka panjangnya, ketika penulis buku perguruan tinggi akhirnya menjadi enggan menulis akibat memperhitungkan imbal baliknya yang tidak sepadan akibat gerogotan dari buku ilegal ini, maka yang rugi adalah kita semua juga.

Besar harapan kita bahwa mahasiswa sebagai kaum intelektual, bisa lebih menghargai hak cipta. Kalau tidak dimulai dari kampus, dari mana lagi?

Penulis : HMWH, Erlangga Kampus
Info & pemesanan, WA: 0813-7555-2505