“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” (Pramodeya Ananta Toer)”.
Kalimat Pram di atas merupakan bentuk aktualisasi proses pembelajaran epistemologis-empirik situasi dan kondisi Pram pada masa itu yang mendapat pengekangan dan pencekalan atas apa yang menjadi buah pikir seorang manusia yang diadili entah atas nama apa.
Pram paham betul bagaimana seorang yang menganggap dirinya pintar atau mempunyai kapabilitas berpikir yang baik, kalau dia tidak menulis, sama saja ia secara sendirinya akan membunuh secara perlahan pengetahuan yang dimiliki akibat jarang dipergunakan, diperbaharui ataupun dibagikan kepada yang lain. Karena menulis merupakan proses menuju keabadian.
Baca: Pesan Penting untuk Kamu Sebagai Mahasiswa
Keabadian yang dimaksud adalah keselarasan antara daya pikir manusia dengan aktualisasi proses pembelajaran yang dituangkan dengan mencoret-coret dengan tinta di atas kertas putih (barangkali konotasinya sekarang berbeda).
Belajar dari Pramoedya
Pramoedya merupakan seorang sastrawan, sejarahwan, pejuang dan pujangga sastra yang menuangkan rasa cipta dan karyanya melalui tulisan dalam mengaktualisasikan rasa seninya.
Pramoedya adalah sosok yang di tengah kemelut revolusi pada saat itupun, tak pernah lepas dari apa yang namanya menulis.
Sehingga salah satu kerabatnya, seorang konseptor manifes kebudayaan Bahor Hutasuhut (akrab dipanggil Buchori), sempat mempertanyakan keseriusan nilai-nilai perjuangan Pram yang menurut beliau terlalu asyik dengan tulisan-tulisannya ketimbang untuk melakukan pergerakan memperjuangkan revolusi pada masa itu.
Bagi Pram, apa yang ia lakukan di dalam penjara, menulis, adalah bentuk perjuangan yang bisa dilakukannya.
Sebuah upaya menemukan kebebasan meski meringkuk di dalam sel. Upaya dari rasa tak menyerahnya. Karena di mata Pram, seorang yang menyerah, bukan pejuang lagi. Bagi Pram sendiri, sebagai seorang yang menganggap dirinya telah merdeka, justru merekalah yang sama sekali tidak mengetahui apa arti kemerdekaan itu.
Terlalu dangkal bukan jika kemerdekaan itu hanya diartikan sebatas lepas dari penjajah?
Bung Karno pernah mengatakan, perjuangan melawan penjajah kalah susah dari perjuangan untuk melawan bangsa sendiri. Tentu inilah dasar bagi manusia-manusia yang menganggap dirinya paham, pandai atau apalah namanya untuk mau membuka lensa kecacatan itu. Bahwa dengan pengetahuan epistemologis yang kita dapat, bila tak dituangkan dalam bingkai tulisan sama saja memotong pengetahuan itu secara perlahan.
Baca: 5 Kemampuan yang Harus Dimiliki Generasi Millennial di Era Digital
Apa yang perlu kita pelajari dari Pram, sang pejuang, sastrawan yang memiliki daya seni tinggi itu?
Ya. Pertama sekali, seseorang yang ingin menghidupi sebuah keabadian kehidupan, hendaklah ia memiliki keberanian menulis, apa lagi berani dalam menulis kritik-tajam terhadap penguasa yang sewenang-wenang. Karena dengan begitu, bagi Pram sendiri hal demikian merupakan suatu keharusan bagi mereka yang menganggap dirinya manusia untuk melawan bentuk penjajahan.
Kedua, dengan menulis, menurut Pram merupakan aktualisasi tindakan yang penting untuk dilakukan seorang terpelajar. Karena dengan demikian, seorang terpelajar akan mengerti bagaimana perilaku adil diterapkan pun dengan pikirannya sendiri.
Ketiga, ilmu pengetahuan, betapa pun tingginya, dia tidak berperibadi. Sama halnya dengan mesin yang dibuat, dibikin oleh sehebat-hebat tangan mausia dia pun tidak berperibadi. Tetapi sesederhana apapun tulisan yang anda buat, merupakan cerminan pribadi nya ataupun bangsanya.
Keempat, perbanyaklah pengalaman bernilai dari lingkungan atau orang lain dan tuangkan lah itu dalam setiap tulisan maka itu akan menjadi fondasi yang kuat bagi peradaban suatu bangsa. Kelima, dengan menulis dan goresan tinta yang kita buat, itu adalah senjata ampuh dalam meneriakkan ketidakadilan, ketimbang eksistensi senjata yang hanya sepersekian menit saja terdengar keganasan nya. Tapi menulis adalah proses yang abadi. Menuju keabadian seorang terpelajar.
Menulis Sebagai Aktualisasi Belajar
Pram telah menginspirasi saya dalam hal menulis. Menulis apa yang menjadi kegaduhan, keganjalan dan kegelisahan dalam hati saya yang mendorong saya semakin memperdalam arti kegelisahan seorang manusia.
Saya bukanlah orang-orang yang suka dengan ortodoksi dan konservatisme proses pendidikan formal yang tak tahu ke mana esensi dan daya ilmiahnya. Pergi pagi, duduk, diam, belajar dan pulang (kupu-kupu istilahnya). Tak ada esensinya bukan.
Merupakan sebuah kehormatan dan kebanggan bagi saya bila saya masih dipercayakan oleh Pencipta memiliki kedua tangan, sehingga saya bisa mengatualisasikan pengetahuan yang saya dapat dari aspek epistemologis-empririk pembelajaran melalui tulisan-tulisan.
Tak ada bedanya dengan saya, kawan-kawan yang ada di luar sana pun bisa melakukan demikian. Mulailah menulis.
Baca: 5 Tips Menentukan Angle dalam Menulis
Tulislah kegundahanmu, kegelisahanmu, kesakitanmu, ketidakadilanmu dan sebarkanlah kepada orang banyak agar mereka pun menyadari bahwa tak ada yang lebih nikmat dalam hidup kecuali kita masih diberikan daya pikir yang kritis dan waras.
Oleh karena itu, setiap detik-menit yang diberikan Pencipta manfaatkanlah dengan hal-hal yang positif, termasuk menulis. Tularkan lah virus positif itu kepada kawan di sekeliling kita, bahwa menulis merupakan hal yang tak terlalu rumit bila dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Kegagalan dan kebuntuhan dalam menulis adalah masalah waktu. Bersabarlah dalam usahamu maka anda akan mengatahui proses keabadian yang Pram maksud. Selamat mencoba kawan.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik 2014 FISIP USU